Langsung ke konten utama

Telaah Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah



Otonomi Daerah di Indonesia memiliki sejarah yang panjang sejak masa awal kemerdekaan hingga saat ini. Pasang surut Otonomi Daerah sangat ditentukan oleh situasi politik Negara dan kebijakan “rezim” yang memimpin pemerintahan. Tarik menarik antara kepentingan dan kebutuhan akan sentralisasi dan desentralisasi kekuasaan pusat dan daerah, turut melatari “tafsir” atas pesan konstitusi UUD 1945 ke dalam Undang-Undang yang mengatur tentang Otonomi Daerah di Indonesia, terutama Undang-Undang tentang Pemerintahan Daerah. Sejak 1945 hingga 2014 ini telah dikeluarkan tak kurang dari 9 ( sembilan ) Undang-Undang yang mengatur tentang Pemerintahan Daerah, mulai dari UU Nomor 1 tahun 1945, UU Nomor 22  tahun 1948, UU Nomor 1 tahun 1957, UU Nomor 6 tahun 1959, UU Nomor 18 tahun 1965, UU Nomor 5 tahun 1974, UU Nomor 22 tahun 1999, dan UU Nomor 32 tahun 2004. Dan untuk saat ini, Undang-Undang yang terbaru yang mengatur tentang Pemerintahan Daerah di Indonesia adalah Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014.

Sebagai bagian dari unsur Pemerintahan Daerah, penting bagi DPRD untuk mengetahui seluk beluk Undang-Undang tentang Pemerintahan Daerah ini. Dalam kajian kali ini tentang “ Telaah Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah“, akan diuraikan secara sekilas beberapa teori tentang otonomi daerah, sekilas sejarah otonomi daerah di Indonesia, perbandingan antara beberapa UU tentang Pemerintahan Daerah yang pernah ada di Indonesia, dan hal-hal baru yang terdapat dalam UU Pemerintahan Daerah Nomor 23 Tahun 2014, sebagai penyempurnaan dari UU Pemerintahan Daerah yang ada sebelumnya.


PENDAHULUAN

Indonesia adalah Negara kepulauan yang terbesar di dunia, terdiri atas 13.466 pulau[1]. Luas wilayah daratan Indonesia adalah 1.922.570 km² dan luas wilayah perairannya 3.257.483 km². Luas keseluruhan wilayah Negara Indonesia ini setara dengan luas wilayah belasan Negara di Eropa, Afrika dan Asia, digabung menjadi satu. Jumlah penduduk Indonesia lebih dari 237 juta jiwa[2] , yang terdiri atas ratusan suku dan bahasa, yang tersebar di 34 provinsi, 93 kota dan 412 kabupaten[3]. Potensi kekayaan alam Indonesia sangat besar dan beragam, mulai dari pertanian, perkebunan, perhutanan, perikanan, kelautan, pertambangan, sumber daya energi, dan sebagainya. Fakta ini menjadikan Indonesia sebagai Negara yang memiliki potensi dan sekaligus tantangan yang sangat besar dalam mengelola nya. Tuntutan otonomi daerah atau desentralisasi pemerintahan bagi Negara Indonesia adalah sebuah keniscayaan. Tiada satupun pemerintah dari suatu Negara dengan wilayah yang luas dapat melaksanakan kebijaksanaan dan program-programnya secara efektif dan efisien melalui sistem sentralisasi[4] (Bowman & Hampton, 1983).
Dalam perjalanan sejarahnya, wacana dan praktik pola pemerintahan yang cenderung pada sentralisasi dan desentralisasi terus berkembang seiring dinamika politik yang terjadi di Indonesia. Bahkan dinamika seputar daerah otonom di Indonesia sempat berkembang sampai ke perubahan bentuk Negara dari semula Negara Kesatuan ( unitary ) menjadi Negara Federal, yakni saat pembentukan Negara Republik Indonesia Serikat ( RIS ), sebagai kesepakatan hasil perundingan Konferensi Meja Bundar di Den Haag Belanda. Namun bentuk Negara Federal di Indonesia hanya bertahan beberapa bulan saja. Setelah “mosi integral” Mohammad Natsir, bentuk Negara Indonesia kembali ke bentuk Negara Kesatuan, hingga saat ini. Para pendiri bangsa Indonesia dan para pemimpin penerusnya meyakini bahwa bentuk Negara yang paling tepat untuk Indonesia adalah Negara Kesatuan, karena Negara Federal hanya menjadi “boneka” bagi kepentingan asing untuk kembali menjajah Indonesia.
Di dalam wadah Negara Kesatuan Republik Indonesia ini, semangat pelaksanaan otonomi daerah terus mengalami pasang surut. Hal ini tercermin dalam produk Undang-Undang Pemerintahan Daerah yang telah dikeluarkan. Selama kurun 20 tahun masa pemerintahan Presiden Soekarno (1945-1965), telah dikeluarkan 5 (lima) UU Pemerintahan Daerah ( UU 1/1945, UU 22/1948, UU 1/1957, UU 6/1959, UU 18/1965 ). Di masa pemerintahan Presiden Soeharto selama 31 tahun (1967-1998) hanya ada satu UU Pemerintahan Daerah yang berlaku (UU 5/1974). Dan di masa reformasi ini (1999-2014) telah ditetapkan 3 (tiga) produk UU Pemerintahan Daerah (UU 22/1999, UU 32/2004, dan UU 23/2014). Pada tiap UU Pemerintahan Daerah itu ada situasi sosial politik yang melatarbelakanginya. Di masa Presiden Soekarno banyak UU Pemerintahan Daerah yang dihasilkan sejalan dengan gejolak politik nasional yang berlangsung saat itu. Pada masa Presiden Soeharto hanya satu UU Pemerintahan Daerah yang berlaku, sejalan dengan kebijakan politik trilogi pembangunan yang salah satunya menekankan pada stabilitas politik yang mantap dan diterjemahkan sebagai pemusatan kekuasaan ( sentralisasi ) dan kontrol politik yang ketat di setiap lini pemerintahan sampai ke daerah.
Pada awal masa reformasi, UU Pemerintahan Daerah (22/1999) menjadi sangat kuat sisi otonomi daerah nya, sebagai bentuk euphoria politik pasca rezim Soeharto yang sangat sentralistik. Setelah amandemen UUD 1945, dilakukan evaluasi dan revisi terhadap UU Pemerintahan Daerah tersebut, disesuaikan dengan amanat amandemen konstitusi dan kemudian ditetapkanlah UU 32/2004. Dan setelah berlaku hampir selama 10 tahun, UU ini kemudian direvisi dan disempurnakan kembali, lalu keluarlah UU 23/2014. 
Banyak hal yang perlu diketahui oleh para Penyelenggara Pemerintahan Daerah di Indonesia, termasuk DPRD di dalamnya, terhadap UU 23/2014 yang baru saja ditetapkan ini. Mengapa terjadi perubahan dan apa saja hal-hal baru yang diatur dalam UU ini, untuk dilakukan penyesuaian dan penjabaran lebih lanjut dalam penyelenggaraan Pemerintahan Daerah di seluruh Indonesia. Termasuk penyesuaian peraturan daerah, perubahan struktur kelembagaan di daerah dengan tupoksinya, dan sebagainya. Oleh karena itu pada kajian kali ini, kami melakukan telaah ringkas UU 23/2014 ini, seputar latar belakang dan konsideran penyusunannya serta beberapa hal baru yang diatur dalam UU ini. 


Undang-Undang
Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia[5], yang dimaksud dengan Undang-Undang adalah :
1.    ketentuandan peraturan negara yang dibuat oleh pemerintah (menteri, badan eksekutif, dsb), disahkan oleh parlemen (Dewan Perwakilan Rakyat, badan legislatif, dsb), ditandatangani oleh kepala negara (presiden, kepala pemerintah, raja), dan mempunyai kekuatan yang mengikat;
2.    aturan yg dibuat oleh orang atau badan yang berkuasa;
3.   hukum ( dalam arti patokan ) yang bersifat alamiah atau sesuai dengan sifat-sifat alam
Kalau digabungkan pengertian Undang-Undang tersebut adalah ketentuan yang dibuat oleh badan yang berkuasa, yang berisi peraturan yang mempunyai kekuatan yang mengikat dan menjadi patokan dalam kehidupan bermasyarakat dan bernegara.
Pada konstitusi Negara Indonesia, yang dimaksud “badan yang berkuasa” membuat Undang-Undang ini memiliki perubahan yang sangat mendasar. Pada UUD 1945 sebelum amandemen, kekuasaan membuat Undang-Undang ada di tangan Presiden[6], namun dalam amandemen UUD 1945, yang memiliki kekuasaan membuat Undang-Undang adalah DPR[7]. Hal ini ditegaskan kembali di dalam Undang-Undang Nomor 12 tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan bahwa “ Undang-Undang adalah Peraturan Perundang-undangan yang dibentuk oleh Dewan Perwakilan Rakyat dengan persetujuan bersama Presiden[8].
Undang-Undang adalah bagian dari Peraturan Perundang-Undangan yang ada di Indonesia. Adapun jenis dan hierarki[9] peraturan perundang-undangan di Indonesia terdiri atas 7 ( tujuh ) macam dan tingkatan yakni :
1.    Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945;
2.    Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat;
3.    Undang-Undang / Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang;
4.    Peraturan Pemerintah;
5.    Peraturan Presiden;
6.    Peraturan Daerah Provinsi; dan
7.    Peraturan Daerah Kabupaten/Kota.
Dari penjelasan tentang jenis dan hierarki Peraturan Perundang-Undangan di atas, dapat disimpulkan bahwa penyusunan Undang-Undang harus mengacu dan tidak boleh bertentangan dengan UUD 1945 dan atau TAP MPR, dan bahwa Undang-Undang menjadi acuan bagi pengaturan yang lebih rinci dan lebih teknis pada peraturan perundangan di bawahnya, yakni PP, Perpres, Perda Provinsi dan Perda Kabupaten/Kota.

Pemerintahan Daerah
Di dalam UU 23/2014, yang dimaksud dengan Pemerintahan Daerah adalah “ penyelenggaraan urusan pemerintahan oleh pemerintah daerah dan dewan perwakilan rakyat daerah menurut asas otonomi dan tugas pembantuan dengan prinsip otonomi seluas-luasnya dalam sistem dan prinsip Negara Kesatuan Republik Indonesia sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 “.[10]
Dari definisi tersebut dapat diketahui bahwa unsurPemerintahan Daerah adalah Pemerintah Daerah dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah. Pemerintah Daerah adalah kepala daerah sebagai unsur penyelenggara Pemerintahan Daerah yang memimpin pelaksanaan urusan pemerintahan yang menjadi kewenangan daerah otonom. Adapun Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) adalah lembaga perwakilan rakyat daerah yang berkedudukan sebagai unsur penyelenggara Pemerintahan Daerah.[11]

Beberapa istilah dalam Pemerintahan Daerah
Beberapa istilah[12] mendasar yang terkait dengan Pemerintahan Daerah antara lain adalah sebagai berikut :
1.    Otonomi Daerah yaitu hak, wewenang, dan kewajiban daerah otonom untuk mengatur dan mengurus sendiri Urusan Pemerintahan dan kepentingan masyarakat setempat dalam sistem Negara Kesatuan Republik Indonesia.
2.    Asas Otonomi yaitu prinsip dasar penyelenggaraan Pemerintahan Daerah berdasarkan Otonomi Daerah.
3.    Desentralisasi yaitu penyerahan Urusan Pemerintahan oleh Pemerintah Pusat kepada daerah otonom berdasarkan Asas Otonomi.
4.    Dekonsentrasi yaitu pelimpahan sebagian Urusan Pemerintahan yang menjadi kewenangan Pemerintah Pusat kepada gubernur sebagai wakil Pemerintah Pusat, kepada instansi vertikal di wilayah tertentu, dan/atau kepada gubernur dan bupati/wali kota sebagai penanggung jawab urusan pemerintahan umum.
5.    Tugas Pembantuanyaitu penugasan dari Pemerintah Pusat kepada daerah otonom untuk melaksanakan sebagian Urusan Pemerintahan yang menjadi kewenangan Pemerintah Pusat atau dari Pemerintah Daerah provinsi kepada Daerah kabupaten/kota untuk melaksanakan sebagian Urusan Pemerintahan yang menjadi kewenangan Daerah provinsi.


PEMBAHASAN

UU Pemerintah Daerah Dari Masa Ke Masa
Kebijakan Pemerintah Pusat untuk melakukan proses desentralisasi  pemerintahan di Indonesia sudah dilakukan sejak awal kemerdekaan 1945. Para pendiri bangsa sejak awal telah memutuskan perlunya desentralisasi dilakukan untuk mewujudkan kesejahteraan rakyat. Kebijakan desentralisasi ini mengalami pasang surut dalam perjalanan sejarahnya, yang tercermin dalam Undang-Undang yang mengatur tentang Pemerintahan Daerah. Berikut ini kami kutip kajian ringkas dinamika Undang-Undang Pemerintahan Daerah dari masa ke masa yang terdapat di dalam Naskah Akademik Rancangan Undang-Undang Pemerintahan Daerah ( untuk pembentukan UU 23/2014 ) [13]:
 (1) Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1945
       Undang-undang ini dikeluarkan pada tanggal 23 Nopember 1945 dan merupakan undang-undang pemerintahan daerah yang pertama setelah kemerdekaan. Undang-undang tersebut didasarkan pada pasal 18 UUD 1945. Pada dasarnya pengaturan-pengaturan yang dimuat dalam Undang-Undang Nomor 1Tahun 1945 tersebut, meneruskan sistem yang diwariskan oleh Pemerintah Kolonial Belanda.
       Sebuah Komite National Daerah didirikan pada setiap level terkecuali di tingkat provinsi. Komite tersebut bertindak selaku badan legislatif dan anggota-anggotanya diangkat oleh Pemerintah Pusat. Komite tersebut memilih lima orang dari anggotanya untuk bertindak selaku badan eksekutifyang dipimpin oleh kepala daerah untuk menjalankan roda pemerintahan daerah. Kepala daerah menjalankan dua fungsi utama yaitu sebagai kepala daerah otonom dan sebagai wakil Pemerintah Pusat di daerah yang bersangkutan.  
       Sistem ini mencerminkan kehendak Pemerintah Pusatuntuk menerapkan prinsip desentralisasi dan dekonsentrasi dalam sistem pemerintahan daerah, namun penekanan lebih diberikan kepada prinsip dekonsentrasi. Hal tersebut terlihat dari dualisme fungsi yang diberikan kepada figur kepala daerah. Status kepala daerah adalah diangkat dan diambil dari keanggotaan komite. Walaupun terdapat Komite Daerah, mereka mempunyai kewenangan yang terbatas karena status mereka yang diangkat oleh Pemerintah Pusat dan bukan dipilih.
(2)   Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1948
       Undang-Undang Nomor 22Tahun 1948 dikeluarkan pada tanggal 10 Juli 1948 yang dimaksudkan sebagai pengganti Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1945 yang dianggap sudah tidak sesuai lagi dengan semangat kebebasan setelah kemerdekaan. Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1948 hanya mengatur mengenai daerah otonom dan sama sekali tidak menyinggung daerah administratif.
       Undang-undang tersebut hanya mengakui 3 tingkatan daerah otonom yaitu; Provinsi, Kabupaten atau Kotamadya dan terakhir Desa atau Kota Kecil. Kekuasaan eksekutif dipegang oleh Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD), dan pemerintahan sehari-hari dijalankan oleh Dewan Pemerintahan Daerah (DPD). Kepala daerah bertindak selaku Ketua DPD. Kepala daerah diangkat oleh Pemerintah Pusat dari calon-calon yang diusulkan oleh DPRD. DPD yang menjalankan urusan pemerintahan daerah bertanggung jawab kepada DPRD baik secara kolektif maupun sendiri-sendiri. Kondisi tersebut merupakan cerminan dari praktek demokrasi parlementer yang dianut pada masa tersebut. Pada sisi lain kepala daerah tetap menjalankan dwifungsi; sebagai Ketua DPD pada satu sisi dan sebagai wakil Pemerintah Pusat di daerah pada sisi yang lain. Sebagai alat Pemerintah Pusat, kepala daerah mengawasi DPRD dan DPD, sedangkan sebagai Ketua DPD, kepala daerah bertindak selaku wakil dari daerah yang bersangkutan.
       Tidak seperti Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1945, Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1948 secara jelas menyatakan urusan-urusan yang dilimpahkan kepada Pemerintah Daerah (otonomi materiil) seperti prinsip Ultra Vares yang diterapkan pada pemerintah daerah di Inggris. Terdapat 15 jenis urusan yang diserahkan kepada pemerintah daerah tanpa melihat tingkatannya. Bahkan kota kecil sebagai pemerintah Daerah Tingkat III mempunyai urusan yang sama dengan urusan pemerintah daerah tingkat atasnya. Hal ini menunjukkan bahwa pemberian otonomi mengesampingkan kemampuan riil dari pemerintah daerah. Keinginan memberikan otonomi lebih didasarkan kepada pertimbangan politis dibandingkan pertimbangan efisiensi dan efektifitas.
       Dalam realitas, kebanyakan daerah pada masa tersebut masih dibawah kontrol Belanda yang ingin menjajah kembali Indonesia. Belanda telah merubah daerah-daerah yang didudukinya kembali menjadi negara-negara bagian dibawah sistem federal. Sedangkan wilayah Republik Indonesia hanya terbatas pada Jawa Tengah, sebagian Sumatra, dan Kalimantan. Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1948 hanya berlaku pada wilayah Republik Indonesia, sedangkan daerah-daerah dibawah sistem federal diatur sistem pemerintahan daerahnya menurut Undang-Undang Nomor 44 Tahun 1950. 
(3)   Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1957
       Apabila Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1945 lebih menekankan pada aspek dekonsentrasi, dan Undang-Undang Nomor 22Tahun 1948 pada aspek desentralisasi, maka Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1957 ditandai dengan penekanan yang lebih jauh lagi kearah desentralisasi. Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1957 adalah produk dari sistem parlemen liberal hasil dari pemilihan umum pertama tahun 1955. Partai-partai politik di parlemen menuntut adanya pemerintah daerah yang lebih demokratik. Keadaan tersebut telah menimbulkan keresahan di kalangan Pamong Praja yang bertugas melaksanakan urusan-urusan pemerintah pusat di daerah. Kelompok Pamong Praja menurut Peraturan Pemerintah Nomor 27 Tahun 1956 terdiri dari Gubernur, Residen, Bupati, Wedana, dan Asisten Wedana atau Camat.
       Meskipun terdapat dorongan yang sangat kuat untuk meluaskan otonomi daerah, pada kenyataannya kewenangan yang dilimpahkan kepada pemerintah daerah tetaplah terbatas. Dari 15 urusan yang telah diserahkan ke daerah sama seperti urusan yang dilimpahkan berdasarkan Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1948, sampai dengan tahun 1958 hanya baru 7 urusan yang sebenarnya diserahkan kepada Propinsi. Penyebabnya adalah bahwa pelimpahan urusan harus dilakukan dengan peraturan pemerintah dan prosedur tersebut memakan waktu yang sangat lama.
       Sistem pemerintahan daerah menurut Undang-Undang Nomor 1Tahun 1957 adalah hampir sama dengan pengaturan dalam Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1948. Pemerintah daerah terdiri dari DPRD dan DPD. Anggota DPD dipilih dari DPRD dan bertanggung jawab kepada DPRD. Kepala daerah bertindak selaku Ketua DPD, namun kekuasaan tertinggi didaerah terletak ditangan DPRD. DPRD membuat kebijakan daerah dan DPD bertugas untuk melaksanakannya. Perbedaannya dengan Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1948 terletak pada peranan yang dijalankan oleh kepala daerah. Kepala daerah hanya berperan selaku alat daerah dan tidak bertanggung jawab kepada Pemerintah Pusat. Kepala daerah dan DPD baik secara sendiri-sendiri maupun secara kolektif bertanggung jawab kepada DPRD. Kepala daerah dipilih oleh DPRD, namun sebelum diangkat ia harus mendapatkan pengesahan dari Presiden untuk Daerah Tingkat I dan Menteri Dalam Negeri untuk Daerah Tingkat II dan Daerah Tingkat III.
       Keinginan untuk menciptakan pemerintahan yang demokratik tidak diiringi dengan kedewasaan sosial dan politik. Dalam kekacauan politik tersebut, kabinet dibawah Perdana Menteri Juanda mengundurkan diri dan keadaan darurat pun diumumkan. Pada tanggal 5 Juli 1959, Presiden Sukarno mengeluarkan Dekrit Presiden yang isinya yaitu; mencabut berlakunya UUDS 1950, membubarkan kabinet, dan kembali kepada UUD 1945. Pada saat tersebut dimulailah apa yang disebut Demokrasi Terpimpin (Guided Democracy).
(4)   Penetapan Presiden Nomor  6 Tahun 1959
       Pada tanggal 16 Nopember 1959, sebagai tindak lanjut dari Dekrit Presiden, PemerintahPusat mengeluarkan Penetapan Presiden 6Tahun 1959 untuk mengatur pemerintahan daerah agar sejalan dengan UUD 1945. Dalam Penpres tersebut diatur bahwa pemerintah daerah terdiri dari kepala daerah dan DPRD. Kepala daerah mengemban dua fungsi yaitu sebagai eksekutifdaerah dan wakil Pemerintah Pusat di daerah. Kepala daerah juga bertindak selaku Ketua DPRD. Sebagai eksekutif daerah ia bertanggung jawab kepada DPRD, namun tidak bisa dipecat oleh DPRD. Sedangkan sebagai wakil Pemerintah Pusat dia bertanggung jawab kepada Pemerintah Pusat. Kepala daerah diusulkan oleh DPRD, tapi diangkat oleh Presiden untuk Daerah Tingkat I, dan oleh Menteri Dalam Negeri untuk Kepala Daerah Tingkat II. Sebagai eksekutif daerah kepala daerah dibantu oleh Badan Pemerintah Harian (BPH) yang anggota-anggotanya dipilih dari DPRD, namun harus bebas dari partai politik.
       Penetapan Presiden6 Tahun 1959 menandai beralihnya kebijaksanaan pemerintahan daerah kearah prinisip dekonsentrasi. Kekuasaan daerah pada dasarnya terletak ditangan kepala daerah, dan Pemerintah Pusat mempunyai kontrol yang kuat terhadap kepala daerah yang umumnya direkrut dari Pamong Praja . Meskipun DPRD mempunyai hak untuk mengusulkan calon-calon kepala daerah, Presiden ataupun Menteri Dalam Negeri mempunyai hak untuk menolaknya dan mengangkat calon yang direstui. Golongan Pamong Praja mendominasi jabatan bupati dan walikota. Pada awal tahun 1960-an pada waktu semua jabatan kepala daerah terisi, dari 238 kepala daerah, 150 orang atau 63% berasal dari Pamong Praja (Legge, 1961).
       Arus balik dari peranan Pamong Praja yang dominan tersebut terjadi dengan dikeluarkannya Ketetapan MPRS Nomor II/MPRS/1960 yang menyatakan pemberian otonomi yang seluas-luasnya kepada pemerintah daerah. Sebagai tindak lanjutnya Pemerintah Pusatmengeluarkan Penetapan Pemerintah Nomor 50 Tahun 1963 tentang Penyerahan Urusan-Urusan Pusat yang sebelumnya dijalankan oleh Pamong Praja kepada pemerintah daerah. Urusan-Urusan yang dijalankan oleh Residen diserahkan kepada Gubernur, dan urusan-urusan yangdijalankan oleh Wedana diserahkan kepada Bupati atau Walikota, sedangkan posisi Asisten Wedana atau Camat tetap dipertahankan. Kemudian Undang-Undang Nomor 18 Tahun 1965 dikeluarkan untuk mengganti Penetapan Presiden 6 Tahun 1959. Ini merupakan terjadinya arus balik dari dekonsentrasi ke arah desentralisasi. Hal ini juga merupakan refleksi dari menguatnya peranan partai-partai politik dalam percaturan politik nasional.
(5)  Undang-Undang Nomor 18 Tahun 1965
       Pada pertengahan dekade 1960-an telah timbul tuntutan yang semakin kuat untuk merevisi sistem pemerintahan daerah agar sejalan dengan semangat Demokrasi Terpimpin dan Nasakom yaitu konsep politik yang dikeluarkan oleh Presiden Sukarno untuk mengakomodasikan tiga kekuatan politik terbesar pada waktu itu yaitu kelompok Partai Nasionalis, Agama dan Komunis.
       Berdasarkan Undang-Undang Nomor 18Tahun 1965, kepala daerah tetap memegang peran ganda yaitu sebagai pimpinan daerah dan wakil Pemerintah Pusat di daerah. Meskipun prinsip desentralisasi dan dekonsentrasi dianut dalam sistem tersebut, namun dekonsentrasi hanyalah dianggap sebagai pelengkap (supplement) saja walaupun diberi embel-embel vital.   
       Perubahan-perubahan mendasar yang terjadi dalam sistem pemerintahan daerah adalah bahwa kepala daerah bukanlan lagi bertindak sebagai Ketua DPRD, dan dia juga diizinkan menjadi anggota partai politik. Secara struktural, terdapat tiga tingkatan pemerintah daerah yang otonom yaitu; Propinsi, Kabupaten atau Kotamadya dan Kecamatan. Otonomi yang diberikan kepada daerah adalah otonomi nyata dan seluas-luasnya. Hal ini hampir serupa dengan otonomi dalam Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1957.
       Undang-Undang Nomor 18 Tahun 1965 merupakan arus balik dari kecenderungan sentralisasi menuju ke desentralisasi. Hal ini nampak dari kebebasan yang diberikan kepada kepala daerah dan BPH untuk menjadi anggota partai politik tertentu. Dengan demikian kesetiaan atau loyalitas dari para eksekutif daerah tidak lagi semata-mata hanya kepada Pemerintah Pusat.
(6)  Undang-Undang Nomor  5 Tahun 1974
       Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1974 lahir dalam masa Orde Baru sebagai akibat dari peristiwa G30S PKI. Ciri utama dari Undang-Undang Nomor 5Tahun 1974 adalah penguatan peran kepala daerah dalam menjalankan dua fungsi utamanya yaitu sebagai kepala daerah otonom dan sebagai wakil Pemerintah Pusat di daerah. Sebagai kepala daerah otonom, dia memimpin penyelenggaraan pemerintahan daerah sesuai dengan kewenangan yang diserahkan oleh Pemerintah Pusat ke daerah. Sedangkan sebagai wakil Pemerintah Pusat,kepala daerah disebut sebagai kepala wilayah yang memimpin wilayah administrasi sebagai wilayah kerja wakil Pemerintah Pusat di daerah.
       Sebagai kepala wilayah maka yang bersangkutan berperan sebagai administrator pemerintahan, pembangunan dan kemasyarakatan. Kepala wilayah juga mempunyai peran sebagai koordinator pemerintahan di daerah yang mengoordinir semua instansi vertikal yang ada di wilayah kerjanya. Kepala wilayah juga bertanggung jawab atas penyelenggaraan urusan umum di daerah yaitu urusan-urusan terkait dengan koordinasi, pembinaan, ketentraman dan ketertiban umum dan menyelenggarakan semua urusan pemerintahan yang belum di otonomikan atau belum ada instansi vertikal yang menanganinya (urusan sisa).
       Ciri utama dari Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1974  adalah kuatnya intervensi Pemerintah Pusat dalam setiap elemen dasar dari pemerintahan daerah. Dari aspek urusan pemerintahan, prinsip otonomi daerah yang dianut adalah otonomi yang luas, riil dan bertanggung jawab. Dalam kenyataannya urusan pemerintahan yang diserahkan ke daerah berjumlah 7 s/d 9 urusan untuk tingkat kabupaten/kota dan 19 urusan untuk tingkat provinsi. Nuansa sentralisasi juga terasa kuat dalam aspek kepegawaian, keuangan, dan aspek-aspek lainnya dalam hubungan pusat dengan daerah. Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1974 bertahan selama hampir 25 tahun yang kemudian diganti dengan Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1999 sebagai tindak lanjut dari reformasi.
 (7) Undang-Undang Nomor  22 Tahun 1999
       Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1999 menandai terjadinya shifting yang signifikan dari sentralisasi yang dianut oleh Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1974 menjadi pemerintahan daerah yang desentralistik secara ekstrim. Maka banyak kalangan mengatakan telah terjadi “big bang” dalam kebijakan desentralisasi di Indonesia. Dari yang serba terpusat dalam era Orde Baru menjadi serba ke daerah dalam era reformasi. 
       Dalam era Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1999 terjadi penyerahan urusan secara drastis ke daerah khususnya ke daerah kabupaten/kota. Dalam konteks otonomi seluas-luasnya Pemerintah Pusat dan provinsi mempunyai kewenangan yang terbatas yang diatur dalam Peraturan Pemerintah 25 Tahun 2000 sedangkan diluar dari yang ditentukan menjadi kewenangan pemerintah daerah kabupaten/kota. Terjadi pergesekan kewenangan antar tingkatan dan susunan pemerintahan terkait dengan kewenangan-kewenangan yang khususnya potensial menghasilkan penerimaan (revenue centers). Sebaliknya terjadi gejala penelantaran urusan-urusan pemerintahan yang bersifat pengeluaran (cost centers). Terjadi pula ketegangan antara kepala daerah dengan DPRD terkait dengan kecenderungan meluas ditolaknya laporan pertanggung jawaban kepala daerah oleh DPRD. Dalam bidang kepegawaian juga muncul kecenderungan kebijakan-kebijakan yang bersifat primordial yang kalau dibiarkan akan membahayakan persatuan dan kesatuan bangsa serta menyuburkan rasa kedaerahan yang sempit. Berbagai persoalan tersebut telah menggiring kearah dilakukannya perubahan Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1999 dan kemudian dikeluarkan Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 sebagai penggantinya. 
 (8) Undang-Undang Nomor  32 Tahun 2004
       Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 berusaha mencari keseimbangan antara desentralisasi dengan sentralisasi. Pengalaman menunjukkan pendulum kebijakan desentralisasi ataupun sentralisasi yang ekstrim cenderung akan menciptakan instabilitas pemerintahan yang akan bermuara pada konflik yang elitis dan tidak berpihak kepada peningkatan kesejahteraan rakyat. Untuk itu selalu terdapat upaya untuk menyeimbangkan antara kebijakan yang desentralistik dengan kebijakan yang sentralistik sebagai suatu continuum kebijakan.

Evaluasi UU Nomor 32 Tahun 2004 Tentang Pemerintahan Daerah
Berikut kami salin kembali dari Naskah Akademik RUU Pemerintah Daerah[14], khususnya berkaitan dengan evaluasi atas UU Nomor 32 Tahun 2004:
Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 berupaya untuk mencari format kebijakan desentralisasi yang mampu mempercepat kemajuan daerah, meningkatkan kesejahteraan rakyat,  dan sekaligus memperkuat integrasi nasional.  Walaupun berbagai upaya telah dilakukan untuk mengantisipasi dinamika politik, sosial, dan ekonomi yang berpengaruh terhadap sistem pemerintahan daerah, namun Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 sebagai payung kebijakan desentralisasi masih mengandung banyak kekurangan dan kelemahan yang jika tidak segera diperbaiki dapat mengganggu keberhasilan desentralisasi itu sendiri. Pertama, pembagian urusan pemerintahan tidak diikuti dengan pembagian sumber-sumber pendanaan yang seimbang. Hampir 70% dari keuangan negara masih ada ditangan Pemerintah Pusat, dan hanya menyisakan 30% untuk dialokasikan ke daerah dalam bentuk dana perimbangan. Kedua, urusan pemerintahan yang diserahkan ke provinsi sedikit tapi sumber pendanaannya banyak sehingga menyebabkan kecenderungan provinsi untuk mencampuri urusan pemerintahan yang menjadi kewenangan kabupaten/kota. Ketiga, di tingkat kabupaten/kota sebagai lini terdepan penyedia pelayanan publik kurang didukung oleh pendanaan yang memadai. Pendapatan asli daerah hanya berkisar kurang dari 10% sehingga 90% pendanaan tergantung dari dana perimbangan. Pada sisi lain, dana yang sudah terbatas tersebut pemanfaatannya juga kurang proporsional dan hampir 80% dipakai untuk overhead cost.
Pada sisi kelembagaan juga ada kecenderungan membengkaknya kelembagaan daerah untuk mengimbangi tekanan birokrasi akibat terjadinya penambahan pegawai. Otonomi luas telah memberikan peluang pemerintah daerah membengkakkan struktur organisasi pemerintahan daerah dan besarnya struktur  organisasi akan menuntut adanya tambahan pegawai. Tambahan pegawai akan menyebabkan membengkaknya biaya rutin (biaya tidak langsung) dan akan menyisakan sedikit sekali untuk membiayai pelayanan public (biaya langsung). Buruknya pelayanan publik akan berpengaruh pada tingkat kesejahteraan masyarakat.
Pada sisi hubungan antara kepala daerah dengan DPRD tidak muncul persoalan sebagaimana dalam era diberlakukannya Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1999, namun ketegangan muncul antara kepala daerah dengan wakil kepala daerah.  Sebagian besar pasangan kepala daerah dan wakilnya cenderung kurang harmonis dan kondisi tersebut telah mengganggu jalannya roda pemerintahan daerah. Salah satu akibatnya adalah terkotak-kotaknya birokrasi kedalam pro-kontra kepala daerah atau wakil kepala daerah. Pergesekan menjadi semakin keras manakala kepala daerah dan wakilnya masing-masing maju mencalonkan diri dalam pilkada berikutnya.
Berbagai permasalahan yang terjadi dalam penyelenggaraan pemerintahan daerah berdasarkan Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tersebut menyebabkan pemerintahan daerah berjalan kurang efektif. Untuk itu diperlukan kebijakan yang bersifat lebih “affirmative” untuk meningkatkan efektifitas pemerintahan daerah.

Hal-Hal Baru Dalam UU Nomor 23 Tahun 2014
Undang-Undang Nomor 23 tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah terdiri atas 27 Bab yakni sebagai berikut:
Bab I            Ketentuan Umum
Bab II           Pembagian Wilayah Negara
Bab III         Kekuasaan Pemerintahan
Bab IV        Urusan Pemerintahan
Bab V          Kewenangan Daerah Provinsi di Laut dan Daerah Provinsi yang berciri Kepulauan
Bab VI        Penataan Daerah
Bab VII       Penyelenggara Pemerintahan Daerah
Bab VIII      Perangkat Daerah
Bab IX        Perda dan Perkada
Bab X          Pembangunan Daerah
Bab XI        Keuangan Daerah
Bab XII       BUMD
Bab XIII      Pelayanan Publik
Bab XIV     Partisipasi Masyarakat
Bab XV      Perkotaan
Bab XVI     Kawasan Khusus dan Kawasan Perbatasan Negara
Bab XVII   Kerja Sama Daerah dan Perselisihan
Bab XVIII  Desa
Bab XIX     Pembinaan dan Pengawasan
Bab XX      Tindakan Hukum Terhadap Aparatur Sipil Negara di Instansi Daerah
Bab XXI     Inovasi Daerah
Bab XXII   Informasi Pemerintahan Daerah
Bab XXIII  Dewan Pertimbangan Otonomi Daerah
Bab XXIV Ketentuan Pidana
Bab XXV  Ketentuan Lain-Lain
Bab XXVI Ketentuan Peralihan
Bab XXVII        Ketentuan Penutup

Dari pembagian Bab tersebut, dapat diketahui hal-hal baru di dalam UU Pemerintahan Daerah Nomor 23 tahun 2014, antara lain sebagai berikut :
·         Tentang Pembagian Wilayah Negara :
Bab II tentang Pembagian Wilayah Negara merupakan salah satu klausul baru yang tidak terdapat pada UU Pemerintahan Daerah sebelumnya. Uraian tentang “Pembagian Wilayah Negara” pada Bab II ini disandarkan langsung pada amandemen UUD 1945 Bab VI Pasal 18 Ayat (1). Bab ini sekaligus menegaskan “bentuk Negara” Indonesia sebagai Negara Kesatuan (unitary) yang terbagi atas Daerah Provinsi, yang terbagi lagi atas Daerah Kabupaten dan Kota, yang terbagi lagi atas Kecamatan, yang terbagi lagi atas Kelurahan dan/atau Desa.
·         Tentang Kekuasaan Pemerintahan dan Urusan Pemerintahan :
Uraian dalam Bab III tentang Kekuasaan Pemerintahan dan Bab IV tentang Urusan Pemerintahan, merupakan penjabaran langsung dari amandemen UUD 1945 Bab III Pasal 4 Ayat (1) dan Bab VI Pasal 18 Ayat (2) dan (5). Sebagai Negara yang menganut konsep Negara Kesatuan (unitary), Indonesia menganut prinsip bahwa “ kekuasaan pemerintahan “ ada di tangan Presiden atau pemerintah pusat. Kemudian “kekuasaan pemerintahan” itu diuraikan kembali ke dalam bentuk pembagian “urusan pemerintahan”, yakni antara urusan Pemerintah Pusat, Pemerintah Daerah dan Presiden. Dalam Bab IV Pasal 9, Urusan Pemerintahan itu diklasifikasi menjadi 3 (tiga) :
(1)   Urusan Pemerintahan Absolut ( sepenuhnya kewenangan Pemerintah Pusat, meliputi: politik luar negeri, pertahanan, keamanan, yustisi, moneter, fiskal nasional, dan agama );
(2)   Urusan Pemerintahan Konkuren ( yang dibagi antara urusan Pemerintah Pusat dan Daerah Provinsi serta Daerah Kabupaten/Kota ); dan
(3)   Urusan Pemerintahan Umum ( kewenangan Presiden sebagai Kepala Pemerintahan ).
Pada bagian Lampiran UU 23/2014, untuk Urusan Pemerintahan Konkuren diuraikan kembali bentuk Matriks Pembagian Urusan Pemerintahan Konkuren antara urusan Pemerintahan Pusat, urusan Pemerintahan Daerah Provinsi dan urusan Pemerintahan Daerah Kabupaten/Kota, serta penjelasan tentang Manajemen Penyelenggaraan Urusan Pemerintahan Konkuren tersebut.
·         Tentang Kewenangan Daerah Provinsi di Laut dan Berciri Kepulauan :
Pada UU 23/2014 Bab V tentang Kewenangan Daerah Provinsi di Laut dan Daerah Provinsi Yang Berciri Kepulauan, telah diatur kewenangan khusus bagi Daerah Provinsi yang memiliki wilayah laut dan berciri kepulauan, untuk melakukan eksplorasi, eksploitasi, konservasi, dan pengelolaan kekayaan laut ( di luar minyak dan gas bumi ), ikut serta dalam memelihara keamanan di laut dan mempertahankan kedaulatan Negara, dan sebagainya.
·         Tentang Penyelenggara Pemerintahan Daerah :
Pada UU 23/2014 ini yang dimaksud Penyelenggara Pemerintahan Daerah adalah Kepala Daerah, DPRD dan Perangkat Daerah ( Bab VII Pasal 57 ). Pada Bab VII diatur tentang Kepala Daerah dan DPRD, adapun tentang Perangkat Daerah diatur pada Bab VIII.
Di antara hal paling krusial dalam pengaturan tentang Kepala Daerah dan DPRD pada UU 23/2014 ini adalah tentang Pemilihan Kepala Daerah. Berbeda dengan UU 32/2004, dimana Pemilihan Kepala Daerah diatur dalam UU Pemerintahan Daerah itu dan diarahkan untuk pemilihan secara langsung oleh rakyat sebagaimana pemilu legislatif dan pemilu presiden dan wakil presiden, maka pada UU 23/2014 ini tidak diatur tentang Pemilihan Kepala Daerah, karena hal tersebut diatur dalam UU lain yang khusus mengatur Pemilihan Kepala Daerah. Dan karena RUU Pemilihan Kepala Daerah yang diajukan Pemerintah melalui Kemendagri sudah dibahas dan disahkan oleh DPR telah memutuskan model Pemilihan Kepala Daerah tidak secara langsung oleh rakyat melainkan melalui wakil rakyat di DPRD Provinsi dan DPRD Kabupaten/Kota, maka pada UU 23/2014 diatur tentang kewenangan DPRD Provinsi untuk memilih Gubernur ( Pasal 101 ayat (1) butir (d) ) dan kewenangan DPRD Kabupaten / Kota untuk memilih Bupati / Walikota ( Pasal 154 ayat (1) butir (d) ). Hal ini telah memicu perdebatan panas di parlemen dan media massa, sehingga Presiden SBY kemudian mengeluarkan Perppu Nomor 1 tahun 2014 yang menganulir RUU Pemilihan Kepala Daerah yang telah disahkan DPR tersebut dan mengeluarkan Perppu Nomor 2 tahun 2014 yang secara spesifik “menghapus” kewenangan DPRD Provinsi untuk memilih Gubernur ( Pasal 101 ayat (1) butir (d) ) dan kewenangan DPRD Kabupaten / Kota untuk memilih Bupati/Walikota ( Pasal 154 ayat (1) butir (d) ).
Sampai dengan saat kajian ini ditulis, perdebatan masih terus berlanjut, dan kemungkinan akan dilakukan judicial review ke Mahkamah Konstitusi untuk memutuskan apakah yang berlaku UU yang sudah ditetapkan oleh DPR atau PERPPU yang dikeluarkan oleh Presiden. Opsi lain bisa juga dilakukan parlementary review atau pembahasan ulang oleh DPR untuk mencari mufakat terhadap perbedaan pendapat ini.
Pengaturan terinci tentang DPRD Provinsi ( Pasal 94 sampai Pasal 146 ) dan tentang DPRD Kabupaten/Kota ( Pasal 147 sampai Pasal 200 ), juncto Pasal 201 sampai Pasal 207, sekaligus mencabut Pasal-Pasal yang mengatur tentang DPRD di dalam UU Nomor 17 tahun 2014 tentang MPR-DPR-DPD-DPRD ( lihat Bab XXVII Ketentuan Penutup Pasal 409 butir (d) ). Hal ini menegaskan kembali tentang Kedudukan DPRD yang bukan murni sebagai Lembaga Legislatif, melainkan merupakan bagian dari Lembaga Eksekutif dalam hal ini Pemerintahan Daerah.
·         Tentang Perangkat Daerah, Informasi Pemerintahan Daerah dan Tindakan Hukum terhadap Aparatur Sipil Negara di Instansi Daerah :
Pengaturan tentang Perangkat Daerah ( Bab VIII ), kewajiban untuk memberikan Informasi Pemerintahan Daerah ( Bab XXII ) dan ketentuan khusus tentang Tindakan Hukum terhadap Aparatul Sipil Negara di Instansi Daerah ( Bab XX ) menjadi bagian dalam mewujudkan Perangkat Daerah dan Aparatur Sipil Negara di Daerah yang lebih profesional sebagai supporting system dalam penyelenggaraan Pemerintahan Daerah.
·         Tentang Penataan Daerah, Perkotaan, Kawasan Khusus dan Kawasan Perbatasan Negara :
Pengaturan tentang Penataan Daerah ( Bab VI ), Perkotaan ( Bab XV ), dan Kawasan Khusus dan Kawasan Perbatasan Negara ( Bab XVI ), mengatur Penataan Daerah secara umum dalam hal Pembentukan dan Penyesuaian Daerah, Pembagian Perkotaan ke dalam bentuk Daerah dan Kawasan, serta tentang Kawasan Khusus ( Otorita, Taman Laut, Berikat, Industri, Purbakala, Perdagangan/Pelabuhan Bebas, Hutan Lindung / Konservasi, Cagar Alam / Budaya, Kawasan Perang, dan Kepentingan Nasional Lainnya ) dan Kawasan Perbatasan Negara ( wilayah kecamatan-kecamatan terluar yang berbatasan langsung dengan Negara lain ).
·         Tentang BUMD :
Pengaturan tentang BUMD pada UU 23/2014 ini ke dalam satu Bab tersendiri ( Bab XII ) secara lebih terperinci berbeda dengan pengaturan tentang BUMD pada UU 32/2004 yang hanya menjadi bagian dari pengaturan tentang Keuangan Daerah. Pengaturan yang lebih terperinci tentang BUMD ini sekaligus juga mencabut UU Nomor 5 Tahun 1962 tentang Perusahaan Daerah ( lihat Bab XXVII Ketentuan Penutup Pasal 409 butir (a) ).
·         Tentang Inovasi Daerah :
Untuk memberikan stimulus bagi inisiatif daerah dalam melakukan kreasi dan inovasi dalam meningkatkan kinerja penyelenggaraan Pemerintahan Daerah, pada UU 23/2014 ini diatur bab tersendiri tentang Inovasi Daerah ( Bab XXI ). Jadi selain kebijakan otonomi yang “basic” ( desentralisasi, dekonsentasi, dan tugas perbantuan ), tiap Daerah juga diberi “insentif” berupa klausul “Inovasi Daerah” ini untuk saling berlomba secara kreatif dan inovatif di dalam meningkatkan pelayan publik dan memajukan kesejahteran masyarakat di Daerah masing-masing.
·         Tentang Pelayanan Publik dan Partisipasi Masyarakat :
Pengaturan tentang Pelayanan Publik ( Bab XIII ) dan Partisipasi Masyarakat ( Bab XIV ) pada UU 23/2014 ini dapat menjadi stimulus lain bagi perbaikan kinerja Pemerintahan Daerah. Dengan asas, manajemen dan standar minimum Pelayanan Publik yang harus dipenuhi oleh Pemerintahan Daerah, diharapkan kualitas pelayanan Aparatur Pemerintah semakin meningkat dan sejalan dengan itu kepuasan masyarakat juga meningkat. Ditambah lagi dengan pengaturan tentang Partisipasi Masyarakat, diharapkan proses penyelenggaraan Pemerintahan Daerah semakin transparan dan partisipatif.
·         Tentang Ketentuan Pidana :
Sanksi Pidana yang dikenakan pada Kepala Daerah yang tidak memberikan pelayanan perizinan terpadu ( Bab XIII Pasal 350 ayat (1) juncto Bab XXIV Pasal 398 ) menjadi isyarat wajibnya setiap Pemerintahan Daerah di seluruh Indonesia untuk menyelenggarakan unit pelayanan terpadu satu pintu dalam rangka memudahkan masyarakat dalam mengurus berbagai urusan perizinan dan pelayan publik lainnya yang diselenggarakan oleh Pemerintahan Daerah.


KESIMPULAN

Otonomi Daerah dalam bentuk desentralisasi, dekonsentrasi dan tugas perbantuan dalam setiap Negara yang memiliki wilayah yang luas adalah sebuah keniscayaan. Hal ini juga berlaku bagi Indonesia sebagai Negara Kepulauan terbesar di dunia. Dalam sejarah pelaksanaan Otonomi Daerah di Indonesia ini, meski pernah menganut bentuk Negara Federal ( RIS ), namun para Pendiri Bangsa ini dan juga Generasi Penerusnya, bersepakat bahwa bentuk Negara yang paling tepat untuk Indonesia adalah Negara Kesatuan ( NKRI ).
Untuk mewujudkan penyelenggaraan otonomi daerah di Negara Kesatuan Republik Indonesia, telah dikeluarkan sejumlah Undang-Undang yang mengatur tentang Pemerintahan Daerah. Undang-Undang tentang Pemerintahan Daerah di Indonesia sudah ada sejak awal masa kemerdekaan tahun 1945 dan memiliki sejarah yang panjang dan penuh dinamika sesuai dengan kondisi sosial politik yang ada. Undang-Undang tentang Pemerintahan Daerah yang terbaru dan berlaku saat ini adalah Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014. Pada Undang-Undang ini telah dilakukan penyempurnaan dari Undang-Undang Pemerintahan Daerah sebelumnya, mulai dari Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1945 sampai dengan Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004, dan mengacu pada amandemen UUD 1945, terutama yang berkaitan dengan Pemerintahan dan Pemerintahan Daerah.
Hal-hal baru dalam pengaturan Pemerintahan Daerah pada Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 ini antara lain adalah tentang Pembagian Wilayah Negara, Kekuasaan Pemerintahan, Urusan Pemerintahan, Kewenangan Daerah Provinsi Di Laut dan Berciri Kepulauan, Penyelenggara Pemerintahan Daerah, Perangkat Daerah, Informasi Pemerintahan Daerah, Tindakan Hukum terhadap Aparatur Sipil Negara di Instansi Daerah, Penataan Daerah, Perkotaan, Kawasan Khusus dan Kawasan Perbatasan Negara, BUMD, Inovasi Daerah, Pelayanan Publik, Partisipasi Masyarakat, dan Ketentuan Pidana.

A.W.S. 




[1] Info dari BAKOSURTANAL (Badan Koordinasi Survei dan Pemetaan Nasional) www.bakosurtanal.go.id
[2]Info dari BPS (Biro Pusat Statistik) www.bps.go.id
[3]Info dari KEMENDAGRI (Dirjen Otonomi Daerah Kementerian Dalam Negeri ) www.otda.kemendagri.go.id  
[4]Margaret Bowman & William Hampton, “Local Democracies : a study in comparative local government”, Longman Chesire, 1983, dikutip tidak langsung, dari Koirudin, “Sketsa desentralisasi di Indonesia, Format Masa Depan Otonomi Menuju Kemandirian Daerah”, Averroes Press, 2005
[5]Kamus Besar Bahasa Indonesia atau KBBI yang disusun Badan Pusat Bahasa Kemdikbud www.kbbi.web.id
[6]Naskah UUD 1945 (sebelum amandemen) Bab III Pasal 5 Ayat (1)
[7] Naskah UUD 1945 (setelah amandemen) Bab VII Pasal 20 Ayat (1)
[8] UU Nomor 12 tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan Bab I Pasal 1 Ayat (3)
[9] Ibid, Bab III Pasal 7 Ayat (1)
[10]UU Nomor 23 tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah Bab I Pasal 1 Ayat (2)
[11]Ibid, Ayat (3) dan (4)
[12]Ibid, Ayat (6) sampai Ayat (11)
[13]Naskah Akademik RUU Pemerintahan Daerah, disusun oleh Tim Kemendagri, tahun 2011
[14]Ibid

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Mengenal Lambang Kota Depok

Setiap Daerah di Indonesia, baik Kota, Kabupaten maupun Provinsi, memiliki Lambang Daerah masing-masing. Lambang Daerah ini menjadi identitas bagi Daerah tersebut. Biasanya menggambarkan ciri khas atau hal-hal utama yang menggambarkan tentang daerahnya.

Mengenal Rencana Jangka Menengah Kota Depok Tahun 2011-2016

RPJM Daerah merupakan dokumen perencanaan daerah untuk periode 5 (lima) tahun yang berisi penjabaran dari visi, misi, dan program Walikota yang berpedoman pada RPJP Daerah dan memperhatikan RPJM Nasional, RPJM Provinsi, kondisi lingkungan strategis di daerah, serta hasil evaluasi terhadap pelaksanaan RPJM Daerah periode sebelumnya . RPJM Daerah memuat arah kebijakan keuangan Daerah, strategi pembangunan Daerah, kebijakan umum, dan program Organisasi Perangkat Daerah, lintas Organisasi Perangkat Daerah, dan program kewilayahan disertai dengan rencana-rencana kerja dalam kerangka regulasi dan kerangka pendanaan yang bersifat indikatif. Dalam kepemimpinan Walikota Depok periode 2011-2016, telah ditetapkan Peraturan Daerah (Perda) Nomor 13 Tahun 2011 tentang Rencana Pembangunan Jangka Menengah Daerah (RPJMD) Kota Depok Tahun 2011-2016. Hal-hal yang diatur dalam Perda RPJMD Kota Depok Tahun 2011-2016 ini antara lain mengenai gambaran umum kondisi daerah kota Depok, Gambaran Pengel

Mengenal Sejarah Kota Depok

Kota Depok di Provinsi Jawa Barat Indonesia ini, memiliki sejarah yang panjang. Meski baru ditetapkan sebagai kota (madya) pada tahun 1999, akan tetapi Kota Depok ternyata memiliki sejarah yang sangat jauh lebih tua dari itu.