Langsung ke konten utama

Kedudukan DPRD dalam Tinjauan Amandemen Konstitusi (UUD 1945)


Pembahasan seputar Kedudukan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) sebagai lembaga legislatif di daerah tidak bisa dilepaskan dari dinamika politik nasional dan juga peraturan perundang-undangan yang melandasinya.
Pada masa pemerintahan Presiden Soekarno keberadaan DPRD tidak begitu dikenal meskipun peraturan perundangan yang mengaturnya sudah ada. Hal ini disebabkan karena situasi Negara saat itu yang masih dalam revolusi fisik dan perundingan melawan penjajah yang masih ingin kembali menguasi Indonesia, ditambah konflik internal antar kekuatan politik di dalam negeri yang tak kunjung usai. Pada masa pemerintahan Presiden Soeharto, keberadaan DPRD sudah lebih dikenal dari hasil Pemilu yang rutin diselenggarakan setiap lima tahunan. Akan tetapi, sebagaimana dialami DPR dan lembaga Negara lainnya, pemusatan kekuasaan pada masa itu telah memandulkan fungsi DPRD, hingga hanya menjadi lembaga pemberi stempel persetujuan atas setiap kebijakan dan program pemerintah. Pada masa reformasi sejak tahun 1999, keberadaan DPRD menjadi semakin eksis, namun penuh dengan dinamika perubahan. Dalam konteks ini, perubahan UU yang mengatur tentang kedudukan DPRD, seperti UU Parpol, UU Pemilu, UU Susduk MPR-DPR-DPD-DPRD, UU Pemerintahan Daerah, dan lain-lain sejak tahun 1999 hingga 2014 ini, perlu ditelusuri pada sumber utamanya yakni konstitusi UUD 1945, yang telah mengalami empat kali amandemen, karena semuanya merujuk kesana. Lewat kajian tentang “Kedudukan DPRD dalam tinjauan amandemen konstitusi ( UUD 1945 )” ini hal-hal yang kerap dipertanyakan dalam perubahan UU yang mengatur tentang DPRD itu diharapkan –sebagiannya- dapat terjawab.


PENDAHULUAN

Pemilihan Umum ( Pemilu ) di Indonesia memiliki sejarah yang unik. Selama 22 tahun masa pemerintahan Presiden Soekarno ( 1945 – 1967 ) Pemilu hanya satu kali diselenggarakan, yakni pada tahun 1955. Pemilu 1955 dianggap Pemilu paling demokratis dan fenomenal dalam sejarah Indonesia, dan diikuti oleh 30 partai politik, dengan peraih suara terbanyak PNI, disusul Masyumi, NU, PKI, PSII dan lain-lain. Namun Pemilu semasa Presiden Soekarno ini tidak memiliki keberlanjutan dengan Pemilu berikutnya, karena terjadi perdebatan yang panjang di konstituante dalam merumuskan konstitusi Negara, sehingga keluar Dekrit Presiden, kembali ke UUD 1945. Ketegangan politik terus berlanjut, ditandai dengan Pembubaran Partai Masyumi dan PSI, pembentukan poros Nasakom ( Nasionalis – Agama – Komunis ), dan lain-lain. Pada masa Presiden Soeharto (1967-1998) dengan alasan menghindari perdebatan politik yang tidak berkesudahan dan mengalihkan pada pembangunan ekonomi (Trilogi Pembangunan), sistem Pemilu disederhanakan dengan menggabungkan partai-partai politik menjadi 10 ( Pemilu 1971) lalu menjadi 3 ( PDI, PPP dan Golkar ) mulai 1977 - 1997. Selama kurun 31 tahun masa pemerintahan Presiden Soeharto, Pemilu diadakan sebanyak 6 kali ( 1971, 1977, 1982, 1987, 1992, 1997 ). Namun, meski berlangsung secara teratur setiap lima tahunan, Pemilu di masa  Presiden Soeharto  ini  dianggap  telah  memasung  sistem demokrasi       ( kebebasan berserikat, berkumpul, mengemukakan pendapat, melontarkan kritik, dan sebagainya ), sehingga dilakukan Reformasi Sistem Pemilu di Indonesia, mulai dari lengsernya Soeharto, penyusunan dan penyempurnaan sejumlah UU yang terkait dengan Pemilu ( UU Parpol, UU Pemilu, UU Susduk MD3, UU Pilpres, UU Pilkada, UU Pemda, dsb ), pelaksanaan Pemilu transisi 1999, dan “puncaknya” adalah amandemen UUD 1945,
Selama 15 tahun era Reformasi (1999-2014), telah berlangsung 4 kali Pemilu Legislatif (Pileg), 3 kali Pemilu Presiden (Pilpres), dan ratusan Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada). Pileg yang dilakukan serentak setiap 5 tahun sekali telah menghasilkan anggota DPR-DPD-DPRD yang merupakan wakil rakyat di lembaga legislatif. Dan melalui Pilpres serta Pilkada telah ditetapkan wakil rakyat di lembaga eksekutif, yakni Presiden (Kepala Negara) dan Gubernur / Bupati / Walikota ( Kepala Daerah Provinsi / Kabupaten / Kota ). Penyelenggaraan Pemilu selama masa Reformasi ini terus mengalami penyempurnaan, terutama berkaitan dengan paket peraturan perundang-undangan yang ada menyesuaikan dengan amandemen konstitusi UUD 1945 di masa MPR 1999-2004. Sejumlah UU yang berkaitan dengan Pemilu terus direvisi, misalnya UU Parpol ( 2/1999, 31/2002, 2/2008, 2/2011 ), UU Pemilu ( 3/1999, 12/2003, 10/2006, 10/2008, 8/2012 ), UU MD3 / MPR-DPR-DPD-DPRD ( UU 4/1999, 22/2003, 27/2009, 17/2014 ), UU Pilpres ( 23/2003, 42/2008 ), UU Pemda ( UU 22/1999, UU 32/2004, UU 23/2014 ).
Perubahan dan penyempurnaan paket UU yang terkait dengan Pemilu ini, kerapkali membuat para wakil rakyat yang telah terpilih menjadi anggota legislatif ( DPR – DPD - DPRD ) perlu mempelajari dan beradaptasi kembali dengan peraturan perundangan yang ada, karena terus berubah. Bahkan untuk anggota legislatif yang terpilih kembali pun perlu melakukan adaptasi ulang, apalagi bagi anggota yang baru. Dalam proses adaptasi dengan beragam peraturan perundangan yang baru tersebut, kerapkali muncul pertanyaan “klasik”, seperti :
ü  Apakah kedudukan DPRD  dengan DPR itu sama ?
ü  Apakah perbedaan DPRD dengan DPR itu hanyalah faktor “skala” ( nasional dan wilayah ) dan faktor “relasional” ( Pusat dan Daerah ) saja ?
ü  Mengapa terdapat kesamaan fungsi antara DPRD dan DPR ( yakni fungsi Legislasi, Anggaran dan Pengawasan ) tetapi terdapat perbedaan kewenangan dalam menjalankan fungsi-fungsi tersebut?
ü  Bukankah anggota DPRD dan DPR dipilih melalui mekanisme Pemilihan Umum yang sama, dan --karenanya-- sama-sama “wakil rakyat”, lalu mengapa terdapat perbedaan dalam hal kewenangannya?
ü  Mengapa selain mengacu pada Peraturan Perundang-Undangan ( UUD, TAP MPR, UU/PERPUU, PP, PERPRES, PERDA ), DPRD dan Pemerintaahan Daerah secara umum juga diatur oleh Peraturan Menteri ( PERMENDAGRI ) yang dalam hierarki tata perundangan tidak disebutkan secara eksplisit?

Sejumlah pertanyaan yang muncul dalam memahami dinamika perubahan peraturan perundangan tentang kedudukan DPRD, harus dirujuk pada konstitusi RI UUD 1945. Karena seluruh produk peraturan perundang-undangan yang ada merujuk kesana. Oleh karena itu, pada kajian kali ini kami mencoba menelusuri penjelasan tentang kedudukan DPRD langsung pada pasal-pasal yang ada di dalam Konstitusi kita ( UUD 1945 ) hasil amandemen pertama sampai ke empat.

Lembaga Legislatif
Dalam pemerintahan demokratis, kekuasaan tidak berada dan dijalankan oleh satu lembaga, melainkan beberapa lembaga. Tujuan pembagian kekuasaan ini adalah agar kekuasaan tidak terpusat pada satu lembaga yang berpotensi terjadinya pemerintahan yang otoriter dan terhambatnya peran serta masyarakat dalam menentukan kebijakan-kebijakan pemerintahan yang menyangkut hajat hidup mereka. Pada umumnya, teori pemisahan kekuasaan ini merujuk pada teori Trias Politica Montesquieu, yang membagi kekuasaan pada tiga lembaga, yakni  Lembaga Legislatif  ( Pembuat  Undang-Undang ),  Lembaga Eksekutif      ( Pelaksana Undang-Undang ) dan Lembaga Yudikatif  ( Lembaga Peradilan yang memutus pelanggaran atas Undang-Undang ). Fungsi Lembaga Legislatif yang paling penting menurut Miriam Budiarjo[1]adalah : 1) Menentukan kebijakan dan membuat Undang-Undang, 2) Mengontrol Lembaga Eksekutif agar dalam menjalankan pemerintahannya sesuai dengan Undang-Undang.

Pemilu, Wakil Rakyat dan DPRD
Pemerintahan yang demokratis dalam artian yang sangat umum yaitu apabila keputusan apapun yang dibuat, diambil langsung oleh rakyat. Hal ini sejalan dengan pemahaman bahwa arti paling dasar dari demokrasi adalah power of people. Namun disadari bahwa hal ini mustahil dilaksanakan. Para pakar sepakat bahwa satu pemerintahan dapat disebut demokratis, bila jaringan pembuat keputusan melibatkan banyak unit politik, dan prosesnya transparan hingga rakyat dapat mengontrol ataupun memasukkan inisiatif baru lewat saluran perwakilan yang disediakan oleh sistem politik, seperti Pemilu dan referendum. Dalam konteks Pemilu, tujuan perwakilan politik itu adalah untuk menerjemahkan will of the people menjadi will of the state[2]
Di Indonesia, sesuai amandemen UUD 1945 Bab VIIB Pasal 22E ayat (2)Pemilihan umum diselenggarakan untuk memilih anggota Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah, Presiden dan Wakil Presiden dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah”.  

Konstitusi dan UUD 1945
Definisi Konstitusi menurut Brian Thompson[3]adalah “A constitution is a document which contains the rules for the operation of an organization”. Konstitusi adalah dokumen yang berisi aturan bagi operasional sebuah organisasi. Organisasi yang dimaksud sangat beragam bentuk dan kompleksitas strukturnya. Mulai dari organisasi mahasiswa, organisasi sosial kemasyarakatan, organisasi bisnis, organisasi politik, sampai ke organisasi tingkat dunia seperi ASEAN, Uni Eropa, PBB, dan sebagainya. Demikian pula Negara, pada umumnya memiliki naskah yang disebut sebagai konstitusi atau Undang-Undang Dasar, yakni “hukum dasar yang dijadikan pegangan dalam penyelenggaraan suatu Negara”[4]. Konstitusi Negara biasanya mengatur tentang Lembaga-Lembaga Negara dengan kewenangan dan tata kerjanya, hubungan antar Lembaga Negara, hubungan antara Lembaga Negara dengan Warga Negara, hak-hak Warga Negara, dan peraturan dasar lainnya. Untuk Negara Republik Indonesia konstitusinya dikenal dengan nama UUD 1945.

Sejarah Amandemen Konstitusi UUD 1945
UUD 1945 pertama kali disahkan dan berlaku sebagai konstitusi Negara Indonesia dalam sidang Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia ( PPKI ) pada tanggal 18 Agustus 1945, yaitu satu sehari setelah Kemerdekaan Negara Republik Indonesia diproklamasikan oleh Soekarno dan Mohammad Hatta pada tanggal 17 Agustus 1945. Setelah itu, konstitusi Indonesia sempat beberapa kali mengalami perubahan. Yang pertama adalah konstitusi UUD RIS (Republik Indonesia Serikat), sebagai hasil dari perundingan Komisi Meja Bundar di Den Haag, Belanda, dan dinyatakan berlaku sejak 27 Desember 1949. UUD RIS 1949 ini tidak berlangsung lama. Setelah mosi integral Natsir pada 3 April 1950, Negara RIS dibubarkan dan kembali Indonesia menjadi Negara Kesatuan Republik Indonesia ( NKRI ). Untuk itu dibentuk Panitia bersama untuk menyusun naskah konstitusi NKRI yang kemudian disahkan oleh Badan Pekerja Komite Nasional Pusat pada tanggal 12 Agustus 1950, dan diberlakukan secara resmi mulai tanggal 17 Agustus 1950, sebagai UUD Sementara. UUDS 1950 ini berhasil mengamanatkan pelaksanaan Pemilu pertama di Indonesia, yakni pada tahun 1955, yang memilih anggota DPR dan Konstituante, yang antara lain ditugaskan untuk menyusun kembali konstitusi atau UU NKRI. Namun beberapa tahun Sidang Konstituante berjalan belum juga menghasilkan UUD NKRI yang disepakati, sampai kemudian Presiden Soekarno mengeluarkan Dekrit Presiden pada tanggal 5 Juli 1959 yang memberlakukan kembali UUD 1945 sebagai UUD Negara Republik Indonesia. Dan di masa Presiden Soeharto, UUD 1945 ini terus diberlakukan, bahkan selama 32 tahun pemerintahannya UUD 1945 mengalami proses “sakralisasi” sehingga tidak diizinkan bersentuhan dengan ide perubahan sama sekali. Sampai kemudian tiba era reformasi 1998, yang disusul dengan proses perubahan ( amandemen ) UUD 1945 secara signifikan.
Pada masa reformasi sejak 1998, UUD 1945 telah mengalami empat kali perubahan, yaitu Perubahan Pertama pada tahun 1999, Perubahan Kedua tahun 2000, Perubahan Ketiga tahun 2001, dan Perubahan keempat tahun 2002. Dalam empat kali perubahan itu, materi UUD 1945 yang asli telah mengalami perubahan besar-besaran dan dengan perubahan materi yang dapat dikatakan sangat mendasar. Secara substantif, perubahan yang telah terjadi atas UUD 1945 telah menjadikan konstitusi proklamasi itu menjadi konstitusi yang baru sama sekali, meskipun tetap dinamakan sebagai UUD 1945[5].


PEMBAHASAN

Paket Undang-Undang Politik ( UU Parpol – UU Pemilu – UU Susduk MPR-DPR-DPD-DPRD atau MD3 dan UU Pemerintahan Daerah ) pada awal reformasi tahun 1999, menandai era baru dalam sistem pemerintahan di Indonesia, dari yang sangat sentralistik di masa Presiden Soeharto ( 1967-1998 ) menjadi sangat desentralistik. Dan perubahan yang lebih mendasar kemudian dikukuhkan lewat proses amandemen konstitusi UUD 1945. Bila DPR hasil Pemilu 1955 ( yang diakui sangat demokratis ) tidak berhasil menyepakati rumusan konstitusi RI dalam sidang-sidang konstituante, maka DPR hasil Pemilu 1999 telah menghasilkan 4 kali amandemen konstitusi UUD 1945, yang secara fundamental telah merubah dan memperkokoh sistem ketatanegaraan di Indonesia. Perubahan ini juga mengimbas pada iklim demokrasi yang terus berkembang, kontrol sosial yang semakin berdaya, lembaga Negara yang semakin tertata, dan otonomi daerah yang semakin dirasakan oleh masyarakat, termasuk peran DPRD di dalamnya.
Dalam naskah awal UUD 1945, kedudukan DPRD tidak disebutkan secara eksplisit. Hanya disebutkan secara “sekilas” dalam bagian  penjelasan pasal 18 Bab VI tentang Pemerintah Daerah, bahwa “Di daerah-daerah yang bersifat otonom akan diadakan badan perwakilan daerah, oleh karena di daerah pun pemerintahan akan bersendi atas dasar permusyawaratan.

Selengkapnya naskah awal UUD 1945 Pasal 18 itu sebagai berikut :
BAB VI
PEMERINTAH DAERAH
Pasal 18
Pembagian daerah Indonesia atas daerah besar dan kecil, dengan bentuk susunan pemerintahannya ditetapkan dengan undang-undang, dengan memandang dan mengingati dasar permusyawaratan dalam sistem pemerintahan negara, dan hak-hak asal-usul dalam daerah-daerah yang bersifat istimewa.
Bagian Penjelasan Pasal 18
I.        Oleh karena Negara Indonesia itu suatu eenheidsstaat, maka Indonesia tak akan mempunyai daerah di dalam lingkungannya yang bersifat staat juga.
Daerah Indonesia akan dibagi dalam daerah propinsi dan daerah propinsi akan dibagi pula dalam daerah yang lebih kecil.
Di daerah-daerah yang bersifat otonom (streek dan locale rechtsgemeen-schappen) atau bersifat daerah administrasi belaka, semuanya menurut aturan yang akan ditetapkan dengan undang-undang.
Di daerah-daerah yang bersifat otonom akan diadakan badan perwakilan daerah, oleh karena di daerah pun pemerintahan akan bersendi atas dasar permusyawaratan.

II.      Dalam territoir Negara Indonesia terdapat lebih kurang 250 zelfbesturende landchappen dan volksgemeenschappen, seperti desa di Jawa dan Bali, negeri di Minangkabau, dusun dan marga di Palembang dan sebagainya. Daerah-daerah itu mempunyai susunan asli, dan oleh karenanya dapat dianggap sebagai daerah yang bersifat istimewa.
Negara Republik Indonesia menghormati kedudukan daerah-daerah istimewa tersebut dan segala peraturan negara yang mengenal daerah-daerah itu akan mengingati hak-hak asal-usul daerah tersebut.

Karena tidak adanya payung hukum yang jelas di dalam konstitusi, penafsiran tentang lembaga DPRD menjadi sangat bias. Dan dengan sistem politik dan pemerintahan yang sangat sentralistik di masa Presiden Soeharto, keberadaan lembaga DPRD - seperti juga DPR – hanyalah menjadi stempel yang melegalisasi setiap keputusan dan kebijakan eksekutif ( Presiden dan Kepala Daerah ).

Pada naskah Amandemen UUD 1945, keberadaan DPRD disebutkan secara eksplisit dalam sejumlah pasal dan ayat, sebagai berikut :
·         Bab VI – Pemerintahan Daerah, Pasal 18, ayat (3) :
“Pemerintahan daerah provinsi, daerah kabupaten, dan kota memiliki Dewan Perwakilan Rakyat Daerah yang anggota-anggotanya dipilih melalui pemilihan umum”
·         Bab VIIE – Pemilihan Umum, Pasal 22E, ayat (2) :
“Pemilihan umum diselenggarakan untuk memilih anggota Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah, Presiden dan Wakil Presiden dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah”
·         Bab VIIE – Pemilihan Umum, Pasal 22E, ayat (3) :
“Peserta pemilihan umum untuk memilih anggota Dewan Perwakilan Rakyat dan anggota Dewan Perwakilan Rakyat Daerah adalah partai politik”
·         Bab VIIIA tentang Badan Pemeriksa Keuangan pasal 23E ayat (2) :
“Hasil pemeriksaan keuangan negara diserahkan kepada Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah, dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah, sesuai dengan kewenangannya”

Selengkapnya amandemen UUD 1945 Pasal 18 sebagai berikut :
BAB VI
PEMERINTAHAN DAERAH
Pasal 18
(1)   Negara Kesatuan Republik Indonesia dibagi atas daerah-daerah provinsi dan daerah provinsi itu dibagi atas kabupaten dan kota, yang tiap-tiap provinsi, kabupaten, dan kota itu mempunyai pemerintahan daerah, yang diatur dengan undang-undang. 
(2)   Pemerintahan daerah provinsi, daerah kabupaten, dan kota mengatur dan mengurus sendiri urusan pemerintahan menurut asas otonomi dan tugas pembantuan. 
(3)   Pemerintahan daerah provinsi, daerah kabupaten, dan kota memiliki Dewan Perwakilan Rakyat Daerah yang anggota-anggotanya dipilih melalui pemilihan umum. 
(4)   Gubernur, Bupati, dan Walikota masing-masing sebagai kepala pemerintah daerah provinsi, kabupaten, dan kota dipilih secara demokratis. 
(5)   Pemerintahan daerah menjalankan otonomi seluas-luasnya, kecuali urusan pemerintahan yang oleh undang-undang ditentukan sebagai urusan Pemerintah Pusat. 
(6)   Pemerintahan daerah berhak menetapkan peraturan daerah dan peraturan-peraturan lain untuk melaksanakan otonomi dan tugas pembantuan. 
(7)   Susunan dan tata cara penyelenggaraan pemerintahan daerah diatur dalam undang-undang. 
Pasal 18A
(1)  Hubungan wewenang antara pemerintah pusat dan pemerintahan daerah provinsi, kabupaten, dan kota, atau antara provinsi dan kabupaten dan kota, diatur dengan undang-undang dengan memperhatikan kekhususan dan keragaman daerah. 
(2)  Hubungan keuangan, pelayanan umum, pemanfaatan sumber daya alam dan sumber daya lainnya antara pemerintah pusat dan pemerintahan daerah diatur dan dilaksanakan secara adil dan selaras berdasarkan undang-undang. 
Pasal 18B
(1)   Negara mengakui dan menghormati satuan-satuan pemerintahan daerah yang bersifat khusus atau bersifat istimewa yang diatur dengan undang-undang. 
(2)   Negara mengakui dan menghormati kesatuan-kesatuan masyarakat hukum adat beserta hak-hak tradisionalnya sepanjang masih hidup dan sesuai dengan perkembangan masyarakat dan prinsip Negara Kesatuan Republik Indonesia, yang diatur dalam undang-undang. 

Dari uraian amandemen UUD 1945 di atas, terlihat adanya perubahan yang signifikan tentang peran dan kedudukan DPRD. Penyebutan DPRD secara eksplisit dalam beberapa pasal dan ayat tersebut, telah menegaskan kedudukan DPRD sebagai lembaga yang diakui oleh konstitusi Negara. Uraian yang lebih rinci pada Bab VI tentang Pemerintahan Daerah telah menjadi landasan hukum yang menjamin pelaksanaan otonomi daerah, distribusi kewenangan dan urusan antara pemerintah pusat dan daerah ( meliputi keuangan, sumber daya alam dan lain-lain), serta peran dan kedudukan DPRD di dalamnya. Dari sisi proses rekrutmen, konstitusi mengatur bahwa baik DPR, DPD maupun DPRD, bersama dengan Presiden dan Wakil Presiden, dipilih melalui proses Pemilihan Umum. Dan sebagaimana DPR dan DPD, maka konstitusi juga “menjamin” bahwa DPRD menerima laporan hasil pemeriksaan keuangan Negara oleh BPK.

Akan tetapi, apabila diperhatikan dengan lebih seksama, maka dapat terlihat bahwa dalam amandemen UUD 1945 ini, Kedudukan DPRD tidaklah sama dengan kedudukan DPR. Kedudukan DPR diatur dalam satu Bab tersendiri (Bab VII), yang terdiri dari 7 pasal ( Pasal 19, 20, 20A, 21, 22, 22A, 22B ) yang terurai dalam lebih dari 15 ayat.

Selengkapnya amandemen UUD 1945 Bab VII Pasal 22 sebagai berikut:
BAB VII
DEWAN PERWAKILAN RAKYAT
Pasal 19
(1)  Anggota Dewan Perwakilan Rakyat dipilih melalui pemilihan umum. 
(2)  Susunan Dewan Perwakilan Rakyat diatur dengan undang-undang. 
(3)  Dewan Perwakilan Rakyat bersidang sedikitnya sekali dalam setahun. 
Pasal 20
(1)  Dewan Perwakilan Rakyat memegang kekuasaan membentuk undang-undang. 
(2)  Setiap rancangan undang-undang dibahas oleh Dewan Perwakilan Rakyat dan Presiden untuk mendapat persetujuan bersama. 
(3)  Jika rancangan undang-undang itu tidak mendapat persetujuan bersama, rancangan undang-undang itu tidak boleh diajukan lagi dalam persidangan Dewan Perwakilan Rakyat masa itu. 
(4)  Presiden mengesahkan rancangan undang-undang yang telah disetujui bersama untuk menjadi undang-undang. 
(5)  Dalam hal rancangan undang-undang yang telah disetujui bersama tersebut tidak disahkan oleh Presiden dalam waktu tiga puluh hari semenjak rancangan undang-undang tersebut disetujui, rancangan undang-undang tersebut sah menjadi undang-undang dan wajib diundangkan. 
Pasal 20A
(1)  Dewan Perwakilan Rakyat memiliki fungsi legislasi, fungsi anggaran, dan fungsi pengawasan. 
(2)  Dalam melaksanakan fungsinya, selain hak yang diatur dalam pasal-pasal lain Undang-Undang Dasar ini, Dewan Perwakilan Rakyat mempunyai hak interpelasi, hak angket, dan hak menyatakan pendapat. 
(3)  Selain hak yang diatur dalam pasal-pasal lain Undang-Undang Dasar ini, setiap anggota Dewan Perwakilan Rakyat mempunyai hak mengajukan pertanyaan, menyampaikan usul dan pendapat serta hak imunitas. 
(4)  Ketentuan lebih lanjut tentang hak Dewan Perwakilan Rakyat dan hak anggota Dewan Perwakilan Rakyat diatur dalam undang-undang. 
Pasal 21
Anggota Dewan Perwakilan Rakyat berhak mengajukan usul rancangan undang-undang.
Pasal 22
(1) Dalam hal ihwal kegentingan yang memaksa, Presiden berhak menetapkan peraturan pemerintah sebagai pengganti undang-undang.
(2) Peraturan pemerintah itu harus mendapat persetujuan Dewan Perwakilan Rakyat dalam persidangan yang berikut.
(3) Jika tidak mendapat persetujuan, maka peraturan pemerintah itu harus dicabut.
Pasal 22A
Ketentuan lebih lanjut tentang tata cara pembentukan undang-undang diatur dengan undang-undang. 

Pasal 22B
Anggota Dewan Perwakilan Rakyat dapat diberhentikan dari jabatannya, yang syarat-syarat dan tata caranya diatur dalam Undang-Undang. 

Kedudukan DPR sebagai Lembaga Legislatif Negara dikukuhkan dengan perubahan klausul dari UUD 1945 yang asli Pasal 20 ayat (1) “Tiap-tiap undang-undang menghendaki persetujuan Dewan Perwakilan Rakyat” menjadi “Dewan Perwakilan Rakyat memegang kekuasaan membentuk undang-undang” pada amandemen UUD 1945 Pasal 20 ayat (1). Artinya, bila semula DPR hanya “memberi persetujuan” atas Undang-Undang yang disusun dan diajukan oleh Pemerintah (Presiden), maka setelah amandemen “kekuasaan membentuk UU” ada di tangan DPR.

Selain itu, tugas dan kewenangan DPR lainnya, baik langsung maupun tidak langsung, juga telah ditetapkan pada bagian lain amandemen konstitusi UUD 1945 ini ( Bab II - Majelis Permusyawaratan Rakyat, Bab III - Kekuasaan Pemerintahan Negara, Bab VIII - Hal Keuangan, Bab VIIIA - BPK, Bab IX - Kekuasaan Hakim ), di antaranya sebagai berikut:

·         Sebagai unsur dari MPR ( pasal 2 ayat (1) ), maka “DPR” berwenang:
Ø  mengubah dan menetapkan Undang-Undang Dasar (  pasal 3 ayat (1) )
Ø  melantik Presiden dan/atau Wakil Presiden ( pasal 3 ayat (2) )
·         Mengusulkan kepada MPR untuk pemberhentian Presiden dan/atau Wakil Presiden ( pasal 7A dan 7B )
·         Tidak bisa dibekukan/dibubarkan (bahkan) oleh Presiden ( pasal 7C )
·         Menerima Sumpah Jabatan Presiden dan/atau Wakil Presiden ( pasal 9 )
·         Memberi persetujuan kepada Presiden untuk menyatakan perang, membuat perdamaian dan perjanjian dengan negara lain ( pasal 11 )
·         Memberi pertimbangan kepada Presiden dalam pengangkatan duta dan konsul ( pasal 13 )
·         Memberi pertimbangan kepada Presiden dalam memberikan amnesti dan abolisi ( pasal 14 ayat (2) )
·         Membahas, memberi pertimbangan dan persetujuan atas Rancangan APBN yang diajukan Presiden ( pasal 23 )
·         Menerima Hasil Pemeriksaan Keuangan Negara dari BPK ( pasal 23E )
·         Memilih anggota BPK ( pasal 23F )
·         Memilih Hakim Agung dari usulan Komisi Yudisial ( pasal 24A )
·         Memberi persetujuan atas pengangkatan/pemberhentian anggota Komisi Yudisial ( pasal 24B )
·         Mengajukan tiga orang anggota Mahkamah Konstitusi ( pasal 24 C )

Uraian di atas menunjukkan bahwa secara kelembagaan, DPR memiliki sejumlah kewenangan yang memiliki landasan hukum yang sangat kuat di dalam konstitusi UUD 1945. Selain kekuasaan legislatif yang pokok ( membentuk Undang-Undang ), DPR juga memiliki kewenangan lain dalam mengontrol penyelenggaraan pemerintahan, memberikan pertimbangan dalam penetapan pejabat pemerintah ( duta besar dan konsul, BPK, Hakim Agung, Komisi Yudisial, Mahkamah Konstitusi ), pemberian amnesti dan abolisi, menyatakan perang dan damai, mengadakan perjanjian antar Negara, dan sebagainya.

Sementara itu, di dalam amandemen UUD 1945 ini, kedudukan DPRD hanya disebutkan sebagai salah satu unsur atau bagian dari Pemerintahan Daerah ( Bab VI Pasal 18 ayat 3 ) yang --bersama dengan Gubernur, Bupati dan Walikota selaku Kepala Pemerintah Daerah-- “menjalankan otonomi seluas-luasnya, kecuali urusan pemerintahan yang oleh undang-undang ditentukan sebagai urusan Pemerintah Pusat” dan “berhak menetapkan peraturan daerah dan peraturan-peraturan lain untuk melaksanakan otonomi dan tugas pembantuan”.

Karena “status” DPRD sebagai salah satu unsur atau bagian dari Pemerintahan Daerah (eksekutif), maka kedudukan DPRD bukanlah murni lembaga legislatif sebagaimana lembaga DPR. Meski sama-sama dipilih melalui proses Pemilu yang sama, namun DPRD adalah bagian dari unsur Pemerintah, dalam hal ini Pemerintahan Daerah, yang dalam penyelenggaraannya di bawah koordinasi Menteri Dalam Negeri.

Hal ini ditegaskan oleh Jimly Asshiddiqie[6]:
“Dewan Perwakilan Rakyat Daerah dibentuk, baik di daerah provinsi maupun di daerah kabupaten dan kota. Pada umumnya, dewan perwakilan ini disebut sebagai lembaga yang menjalankan kekuasaan legislatif, dan karena itu biasa disebut dengan lembaga legislatif di daerah. Akan tetapi, sebenarnya haruslah dicatat bahwa fungsi legislatif di daerah tidaklah sepenuhnya berada di tangan DPRD seperti fungsi DPR-RI dalam hubungan dengan Presiden. Sebagaimana ditentukan dalam Pasal 20 ayat (1) juncto Pasal 5 ayat (1) UUD 1945 hasil Perubahan Pertama. Pasal 20 ayat (1) UUD 1945, DPR ditentukan memegang kekuasaan membentuk UU, dan dalam Pasal 5 ayat (1) dinyatakan bahwa Presiden berhak mengajukan RUU kepada DPR. Sedangkan kewenangan menetapkan Peraturan Daerah, baik daerah provinsi maupun kabupaten/kota, tetap berada di tangan Gubernur dan Bupati/Walikota dengan persetujuan DPRD, sebagaimana ketentuan UUD 1945 sebelum diamandemen. Karena itu dapat dikatakan bahwa Gubernur dan Bupati/Walikota tetap merupakan pemegang kekuasaan eksekutif dan sekaligus legislatif, meskipun pelaksanaan fungsi legislatif itu harus dilakukan dengan persetujuan DPRD yang merupakan lembaga pengontrol terhadap kekuasaan pemerintahan di daerah.
Oleh karena itu, sesungguhnya, DPRD lebih berfungsi sebagai lembaga pengontrol terhadap kekuasaan pemerintah daerah daripada sebagai lembaga legislatif dalam arti yang sebenarnya. Namun dalam kenyataan sehari-hari, lembaga DPRD itu biasa disebut sebagai lembaga legislatif. Memang benar, seperti halnya pengaturan mengenai fungsi  DPR-RI menurut ketentuan UUD 1945 sebelum diamandemen, lembaga perwakilan rakyat ini berhak mengajukan usul inisiatif perancangan produk hukum. Menurut ketentuan UUD 1945 yang lama, DPR berhak memajukan usul inisiatif perancangan UU. Demikian pula dengan DPRD, baik di daerah provinsi maupun daerah kabupaten/kota, berdasarkan ketentuan UU No.22/1999, berhak mengajukan Rancangan Peraturan Daerah kepada Gubernur atau Bupati/Walikota. Namun, hak inisiatif ini sebenarnya tidaklah menyebabkan kedudukan DPRD menjadi pemegang kekuasaan legislatif yang utama. Pemegang kekuasaan utama di bidang ini tetap ada di tangan pemerintah, dalam hal ini Gubernur atau Bupati/Walikota.”


KESIMPULAN

Penyebutan DPRD secara eksplisit di dalam amandemen konstitusi ( UUD 1945 ), khususnya pada tiga pasal dan empat ayat, yaitu Bab VI Pasal 18 ayat (3), Bab VIIE Pasal 22E ayat (2) dan (3), dan Bab VIIIA Pasal 23E ayat (2), telah menegaskan eksistensi DPRD sebagai Lembaga yang diakui oleh Konstitusi Negara dan karenanya memiliki dasar hukum yang sangat kuat. Hal ini sangat berbeda dengan status DPRD pada naskah UUD 1945 yang asli, yang sama sekali tidak menyebutkan secara eksplisit tentang DPRD, kecuali pada bagian penjelasan Pasal 18 yang “sumir”.
Dalam amandemen konstitusi ( UUD 1945 ) juga menjelaskan, bahwa sebagai “wakil rakyat” yang direkrut melalui proses Pemilihan Umum, maka kedudukan DPRD “setara” dengan DPR dan DPD, bahkan dengan Presiden dan Wakil Presiden. Penyebutan ke-empat Lembaga Negara ini ( DPR, DPD, Presiden dan Wakil Presiden, serta DPRD ) dalam satu ayat, yakni pada Bab VIIE tentang Pemilihan Umum Pasal 22E ayat (2), telah mengisyaratkan nilai “kesetaraan” DPRD dengan wakil rakyat lainnya tersebut.
Namun demikian, pada amandemen konstitusi ( UUD 1945 ) ini, dapat disimpulkan pula bahwa Kedudukan DPRD tidaklah sama dengan Kedudukan DPR. Dalam amandemen UUD 1945 ditegaskan kembali kedudukan DPR sebagai “Lembaga Legislatif” yang memiliki kekuasaan membentuk Undang-Undang dan memiliki sejumlah kewenangan lainnya. Sementara Kedudukan DPRD, meskipun memiliki fungsi legislasi, anggaran dan pengawasan, namun DPRD bukanlah murni Lembaga Legislatif, melainkan juga bagian dari Lembaga Eksekutif atau Pemerintah, dalam hal ini Pemerintahan Daerah.

A.W.S. 



[1]Miriam Budiarjo, “Dasar-Dasar Ilmu Politik”, PT Gramedia, 1991
[2] Riswandha Imawan, “Fungsi Perwakilan, Pembentukan Legitimasi dan Pengambilan Keputusan”, UGM, 2000
[3]Brian Thompson, “Textbook on Constitutional and Administrative Law”, Blackstone Press Limited, 1993
[4]Jimly Asshiddiqie, “Konstitusi & Konstitusionalisme Indonesia”, Konstitusi Press, 2006
[5]Ibid, halaman 58
[6]Ibid, halaman 296-297

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Mengenal Lambang Kota Depok

Setiap Daerah di Indonesia, baik Kota, Kabupaten maupun Provinsi, memiliki Lambang Daerah masing-masing. Lambang Daerah ini menjadi identitas bagi Daerah tersebut. Biasanya menggambarkan ciri khas atau hal-hal utama yang menggambarkan tentang daerahnya.

Mengenal Rencana Jangka Menengah Kota Depok Tahun 2011-2016

RPJM Daerah merupakan dokumen perencanaan daerah untuk periode 5 (lima) tahun yang berisi penjabaran dari visi, misi, dan program Walikota yang berpedoman pada RPJP Daerah dan memperhatikan RPJM Nasional, RPJM Provinsi, kondisi lingkungan strategis di daerah, serta hasil evaluasi terhadap pelaksanaan RPJM Daerah periode sebelumnya . RPJM Daerah memuat arah kebijakan keuangan Daerah, strategi pembangunan Daerah, kebijakan umum, dan program Organisasi Perangkat Daerah, lintas Organisasi Perangkat Daerah, dan program kewilayahan disertai dengan rencana-rencana kerja dalam kerangka regulasi dan kerangka pendanaan yang bersifat indikatif. Dalam kepemimpinan Walikota Depok periode 2011-2016, telah ditetapkan Peraturan Daerah (Perda) Nomor 13 Tahun 2011 tentang Rencana Pembangunan Jangka Menengah Daerah (RPJMD) Kota Depok Tahun 2011-2016. Hal-hal yang diatur dalam Perda RPJMD Kota Depok Tahun 2011-2016 ini antara lain mengenai gambaran umum kondisi daerah kota Depok, Gambaran Pengel

Mengenal Sejarah Kota Depok

Kota Depok di Provinsi Jawa Barat Indonesia ini, memiliki sejarah yang panjang. Meski baru ditetapkan sebagai kota (madya) pada tahun 1999, akan tetapi Kota Depok ternyata memiliki sejarah yang sangat jauh lebih tua dari itu.